Salah satu pabrik tapioka (tepung berbahan dasar singkong atau ketela pohon) terbesar di Jawa Tengah bubar pada pertengahan 1957. Pabrik yang berdiri sejak zaman pemerintah Kolonial Belanda ini dimiliki NV. Hoo Gwan yang dipimpin oleh seorang direktur bernama Tan Siang Tjwan ini, memutuskan untuk menghentikan operasi perusahaan, akibat masalah keamanan. Selain itu, banyaknya tenaga kerja yang pergi mengungsi dan hancur sebagian besar infrastruktur industri, menjadi penyebab lain menurunnya produksi pabrik.
Tan yang berkantor di Meester Cornelis (Jatinegara, Jakarta) bahkan harus datang ke pabriknya di Bumiayu, Tegal untuk menyampaikan keputusannya ini. Ia sebenarnya menyayangkan penutupan pabrik ini, sehingga berakibat dua pabrik penunjang produksi tapiokanya di Sukaraja (Purwokerto) dan Cirebon juga harus mengalami hal yang sama.
Kekecewaan Sang direktur tergambar dari wawancaranya dengan wartawan PIA (Pers Biro Indonesia) yang datang meliput pengumuman itu. Tan seakan tak percaya, NV yang bergerak di berbagai bidang seperti, konstruksi, perdagangan, dan transportasi ini, harus merelakan pabrik tapiokanya tutup semua (Derde Aankondiging NV Bouw en Handelmaatschappij "Hoo Gwan"", De Locomotief, 30 Desember 1948; dan "Tweede Aankondiging: N. V. Autobusdienst en Transport
Onderneming Bintang", De Locomotief, 25 April 1949)
Onderneming Bintang", De Locomotief, 25 April 1949)
Selama berproduksi sebelum perang kemerdekaan, ketiga pabriknya ini mampu mengolah kebun singkong seluas 20.000 hektar dengan produksi tapioka rata-rata sebanyak 45.000 ton per tahun. Dari 45.000 ton tersebut 32.000 ton diekspor ke negara-negara di benua Amerika dan Eropa.
Akan tetapi, ketika perang kemerdekaan terjadi hingga memasuki dekade 1950-an, produksi pabriknya menurun dan hanya menyisakan lima persen saja, atau sekitar 2250 ton per tahun ("Pabrik Tapioka Bumiaju Tutup", Suara Merdeka, 8 Juni 1957). Produksi yang terbatas ini, akhirnya tak mampu menutupi biaya operasional perusahaan dan terpaksa harus ditutup.
No comments:
Post a Comment