Sunday, January 26, 2020

Penggunaan Sabun Dekade 1950-an

Sabun menjadi barang yang belum lazim digunakan masyarakat kelas bawah di Indonesia. Setidaknya hal tersebut tergambar dalam sepenggal lagu berjudul "Kuncung" yang ditembangkan Didi Kempot dan (Alm.)  Basuki. Sepenggal lirik lagu itu berbunyi:

"Kosokan watu ning kali nyeblung ning kedhung 
Jaman biyen durung ungsum sabun" 

(Jawa: menggosok batu di sungai, beredam di tempat lebih dalam, zaman dulu belum laku sabun)
Betapa kehidupan nestapa yang diderita rakyat terjajah di zaman Kolonial masih dirasakan sebagian masyarakat. Hidup dengan segala keterbatasan pemenuhan sandang, pangan, dan papan masih dirasakan, bahkan menimbulkan harapan untuk hidup yang lebih sejahtera.

Namun pandangan kurang tersedianya sabun dipasaran, agaknya mulai terkurangi dengan beberapa iklan sabun yang ditemukan di harian Suara Merdeka pada dekade 1950-an. Dalam pemuatannya di halaman keempat, dapat dilihat bahwa promosi penggunaan sabun sudah mulai gencar dilakukan si pemilik lisensi merek sabun "Lux" pada masa itu.
Iklan sabun merek "Lux" yang kali ini ditampilkan, menunjukan setidaknya tiga hal yang bisa kita pahami bersama pada masa itu. Pertama, ketersediaan sabun dipasaran sudah mulai dirasakan keberadaannya oleh masyarakat, meskipun media promosinya terbatas pada media cetak yang beredar di kota dan kabupaten besar saja. Kedua, kesadaran masyarakat akan kebersihan badan sudah mulai muncul, dengan penggunaan sabun secara berkala sewaktu mandi.Ketiga, untuk menarik minat pembeli, si pemilik pabrik pembuatan sabun bermerek "Lux" di Indonesia, menggencarkan promosi dengan menggunakan model-model cantik yang notabene artis-artis wanita Hollywood. Mereka adalah bintang film pada dekade 1950-an yang sangat tenar dan membintangi sejumlah film Barat yang beredar di Indonesia.



Catatan: Seluruh Gambar Iklan Sabun "Lux" diambil dari arsip koran Suara Merdeka Semarang. Bagi yang ingin menggunakannya wajib menghubungi dan meminta izin penggunaan kepada petugas Depo Arsip Suara Merdeka Semarang yang beralamat di Jalan Merak 11 A Kota Lama Semarang. JANGAN JADI PLAGIATOR!!!

Friday, January 17, 2020

Iklan Margarin Dekade 1950-an

"Si Grundel" ikon karikatur khas Suara Merdeka memberi gambaran mengenai kondisi ketahanan pangan masyarakat pada dekade 1950-an. Salah satu bahan pangan yang menjadi sorotan adalah keberadaan margarin dengan merek "Blue Band" dan "Palmboom". Edisi kali ini dimulai dengan membahas margarin merek "Blue Band".

Membaca iklan-iklan margarin merek "Blue Band" dengan beragam ilustrasi ini, membuka berbagai pemahaman kita terkait tren budaya pangan keluarga pada dekade 1950-an. Setidaknya ada lima hal yang bisa penulis bahas dari margarin.

Pertama, margarin adalah produk pangan warisan kolonialis Barat yang memiliki kandungan gizi yang baik, karena terbuat dari minyak nabati atau tumbuh-tumbuhan, seperti yang tertera di iklan. Margarin biasanya dikonsumsi para kaum kolonialis bersama dengan roti dan bahan pangan lainnya. Kebiasaan demikian masih diikuti masyarakat Indonesia pada dekade 1950-an.

Kedua, pengonsumsi margarin bila dilihat dari penggambaran iklan-iklan tersebut menunjukan, bahwa segmen konsumen berada di keluarga kelas menengah. Mereka digambarkan duduk dan berbaju rapi di meja makan dan dapur, serta dalam suasana santai berkumpul bersama kolega dan keluarga, bahkan margarin juga disarankan dikonsumsi saat berbuka puasa pada bulan Ramadan.
Ketiga, himbauan mengonsumsi margarin juga menggambarkan kondisi kesehatan masyarakat pada masa itu. Segmen keluarga yang ditunjukan iklan, juga menampilkan anak-anak yang berbadan sehat, serta rumah tangga yang harmonis.

Keempat, terlepas dari promosi merek tertentu, harga margarin yang lebih murah, ekonomis, dan cukup terjangkau bagi keluarga-keluarga. Margarin dicitrakan sebagai "pelengkap makanan berkelas" yang lezat, sehat bergizi, dan "aman di kantung".

Kelima, politik pangan pada dekade 1950-an yang mulai tidak berpihak para rakyat. Harga "pangan-pangan berkelas" yang sangat terjangkau harganya dan bergizi seperti margarin ini, mulai melambung tinggi tinggi. Hal ini digambarkan oleh "Si Grundel".



Catatan: Pengkopian, pengutipan, dan penggandaan harus seizin pengelola Depo Arsip Suara Merdeka. JANGAN JADI PLAGIATOR!!! 

Thursday, January 25, 2018

Dari Percobaan Bunuh Diri Pemuda Korea hingga Wabah Anjing Gila: Pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara, 1958-1959

Perpindahan markas besar pemberontakan Perdjuangan Rakjat Semesta (Permesta) ke Manado, Sulawesi Utara pada 1958, berdampak pada semakin kompleksnya penyelesaian konflik antara pemerintah pusat dengan para pemberontak. Ditambah lagi adanya campur tangan agen intelejen Amerika Serikat dengan sejumlah bantuan persenjataan yang diberikan, guna menggempur pertahanan pemerintah Indonesia di beberapa kota di Maluku dan Sulawesi Utara.
Perjuangan para pemberontak yang gigih ini, tidak lepas pula dari pemberitaan media asing. Salah satunya kantor berita United Press Internasional (UPI). UPI yang berkantor di sejumlah ibukota negara di dunia mengadakan korespondensi dan memberitakan perkembangan pemberontakan di Indonesia. Kantor UPI di Seoul, Korea Selatan bahkan sempat memberitakan betapa perjuangan para pemberontak telah menggugah partisipasi sukarela salah seorang pemuda Korsel, bernama Kim Kwi Bong (21). Diberitakan UPI Seoul berdasarkan wawancara dengan polisi setempat, Kim yang merasa simpati terhadap perjuangan Permesta di Indonesia, hendak ikut serta berjuang. Akan tetapi, tindakannya tersebut ditentang orang tuangnya. Kim yang tidak terima lantas mengancam akan bunuh diri, dan seketika nekat meminum obat tidur dalam dosis tinggi di hadapan orang tuanya. Tahu tindakan nekat Sang putra, orang tua Kim langsung menyelematkannya dan membawanya ke rumah sakit. Meskipun dalam kondisi overdosis, akhirnya nyawa Kim dapat diselamatkan. (Suara Merdeka, "Karena Terlalu "Cinta" Terhadap PRRI?", 6 Juni 1958, hlm. 3).
Sementara itu, perpindahan pasukan dan markas besar tidak serta merta memberi jaminan keamanan dan keselamatan bagi para pemberontak Permesta di Sulawesi Utara. Mereka yang sudah berpindah terpaksa harus menghadapi gangguan wabah anjing gila. Salah satu reporter UPI Hongkong sempat memberitakan kondisi pasukan pemberontak yang tengah kesulitan mengusir anjing-anjing gila di sekitar tempat tinggal pasukan. Diberitakan bahwa korban gigitan anjing gila sudah mencapai 200 orang dan korban meninggal sebanyak 120 orang. Salah satu korban yang meninggal adalah Letkol Wuisa, Kepala Tata Usaha markas pemberontak Permesta. Ia bersama keluarganya meninggal setelah terkena gigitan anjing gila. Korban yang meninggal sebagian besar karena tidak mendapat penanganan medis yang memadahi. (Suara Merdeka, 4 Mei 1959, hlm. 1).




Thursday, January 11, 2018

Pabrik Tapioka Bumiayu Bubar, 1957

Salah satu pabrik tapioka (tepung berbahan dasar singkong atau ketela pohon) terbesar di Jawa Tengah bubar pada pertengahan 1957. Pabrik yang berdiri sejak zaman pemerintah Kolonial Belanda ini dimiliki NV. Hoo Gwan yang dipimpin oleh seorang direktur bernama Tan Siang Tjwan ini, memutuskan untuk menghentikan operasi perusahaan, akibat masalah keamanan. Selain itu, banyaknya tenaga kerja yang pergi mengungsi dan hancur sebagian besar infrastruktur industri, menjadi penyebab lain menurunnya produksi pabrik.
Tan yang berkantor di Meester Cornelis (Jatinegara, Jakarta) bahkan harus datang ke pabriknya di Bumiayu, Tegal untuk menyampaikan keputusannya ini. Ia sebenarnya menyayangkan penutupan pabrik ini, sehingga berakibat dua pabrik penunjang produksi tapiokanya di Sukaraja (Purwokerto) dan Cirebon juga harus mengalami hal yang sama. 
Kekecewaan Sang direktur tergambar dari wawancaranya dengan wartawan PIA (Pers Biro Indonesia) yang datang meliput pengumuman itu. Tan seakan tak percaya, NV yang bergerak di berbagai bidang seperti, konstruksi, perdagangan, dan transportasi ini, harus merelakan pabrik tapiokanya tutup semua (Derde Aankondiging NV Bouw en Handelmaatschappij "Hoo Gwan"", De Locomotief, 30 Desember 1948; dan "Tweede Aankondiging: N. V. Autobusdienst en Transport
Onderneming Bintang", De Locomotief, 25 April 1949) 
Selama berproduksi sebelum perang kemerdekaan, ketiga pabriknya ini mampu mengolah kebun singkong seluas 20.000 hektar dengan produksi tapioka rata-rata sebanyak 45.000 ton per tahun. Dari 45.000 ton tersebut 32.000 ton diekspor ke negara-negara di benua Amerika dan Eropa. 
Akan tetapi, ketika perang kemerdekaan terjadi hingga memasuki dekade 1950-an, produksi pabriknya menurun dan hanya menyisakan lima persen saja, atau sekitar 2250 ton per tahun ("Pabrik Tapioka Bumiaju Tutup", Suara Merdeka, 8 Juni 1957). Produksi yang terbatas ini, akhirnya tak mampu menutupi biaya operasional perusahaan dan terpaksa harus ditutup.
Penemuan Uranium di Kaligesing Purworejo, 1957

Pada September 1957 diberitakan dalam halaman depan surat kabar Suara Merdeka, bahwa di daerah Kaligesing Kabupaten Purworejo telah ditemukan batu-batu yang mengandung uranium. Batu-batu tersebut berwarna hitam dan memiliki berat melebihi batu-batu biasanya. Atas penemuan-penemuan tersebut, maka salah seorang ahli pertambangan bernama Ir Djojosugardo diminta oleh Bupati Purworejo, Hardjo Kartoatmodjo untuk datang ke daerah itu dan melakukan penelitian.
Djojosugardo akhirnya memenuhi undangan tersebut, dan datang bersamaan dengan Hardjo dalam peresmian pabrik tegel (keramik) di Desa Tambakrejo, Tangkrep Purworejo. Dari acara tersebut, Djojosugardo menyempatkan diri menggali informasi dari sejumlah pamongpraja yang mengenal daerah temuan uranium itu.
Pada pelusuran awal ini, ia mendapatkan cerita, bahwa tanah di wilayah Kaligesing justru mengandung unsur mangan. Keberadaan mangan itu pun juga sudah dieksploitasi Pemerintah Kolonial Belanda, dan bahkan mangan Kaligesing sudah diekspor ke luar negeri. ("Daerah Kaligesing Banyak Bahan2 Uranium? Keterangan Ir Djojosugardo kepada Bupati Purworejo, Suara Merdeka, 24 September 1957, hlm. 1.).
Selang satu bulan dari penelitian awal tersebut, Hardjo dalam kunjungan kerja ke Wonosobo menegaskan, bahwa ada penemuan bijih-bijih uranium di daerah Kaligesing, dan sekarang masih dalam proses penelitian mendalam ("Uranium, Ceramiek en Gips in Purworedjo?", Algemeen Indisch Dagblad: de Preangerbode, 4 Oktober 1957). Selain menjelaskan perkembangan temuan uranium, ia juga memaparkan kekayaan bahan baku keramik sebagai penunjang pabrik tegel yang baru berdiri di Purworejo. Seluruh bahan baku diperoleh dari daerah sekitar Kaligesing, yakni Gegermenjangan dan Kemiri ("Uranium-erls in Purworedjo?", Java Bode, 4 Oktober 1957).
Pembahasan temuan dan pengembangan uranium di Indonesia, menjadi pembahasan yang ramai pada tahun tersebut. Pasalnya, salah satu petinggi Partai Komunis Indonesia Semaun, bahkan mengangkatnya sebagai isu nasional. Ia bahkan menggelar penelitiannya sendiri dan hasilnya adalah saran agar pengembangan uranium menjadi prioritas negara demi menciptakan kesejahteraan rakyat. Ke depan ia ingin ketergantungan Indonesia akan bahan bakar semakin berkurang, dan beralih menggunakan sumber energi yang lebih efisien dan efektif. Hal ini menurutnya didasarkan kekayaan alam Indonesia yang mampu menyediakan bahan-bahan bakunya. ("Berilah Kesempatan Pada Semaun,", Suara Merdeks", 9 Maret 1957, hlm. 2.).

Wednesday, January 10, 2018



CILIK-CILIKAN
=============

Nama rubrik yang mengadopsi ungkapan dalam bahasa Jawa yang artinya kecil-kecilan. Memang rubrik ini hanya akan menampilkan cerita-cerita historis kecil-kecilan. Semua yang ditulis disini berdasarkan berbagai bahan bacaan yang bisa penulis runut dari beragam sumber. Tulisan-tulisan dalam rubrik ini juga setidaknya menjadi bentuk pertanggungjawaban penulis sebagai alumnus S1 (2010) dan S2 (2015) Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro Semarang. Sudah sejak lama penulis ingin sekali menuliskan berbagai macam hal yang penulis temui secara tidak sengaja terbaca, ketika mengadakan berbagai penelusuran sumber-sumber sejarah, baik karena tuntutan pekerjaan atau sekadar iseng di waktu senggang bekerja.

Rubrik ini terilhami dari berbagai narasi yang ditulis dengan sangat menarik oleh almarhum Rosihan Anwar, dalam karya Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia yang saat ini mencapai enam jilid. Namun dalam rubrik ini, penulis akan memfokuskan diri pada narasi-narasi sejarah yang berlatar belakang kondisi Indonesia pada dekade 1950-an. Penulis kembali terilhami dari kumpulan tulisan yang dieditori Ramco Raben dan Sita van Bemmelen berjudul Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an. Ada satu keinginan besar dari penulis untuk menampilkan narasi-narasi historis ringan seputar Indonesia dan khususnya Jawa Tengah. Ke depan, mungkin dari secuplik tulisan ringan ini akan banyak menginspirasi sejarawan akademisi, serta penulis-penulis dari berbagai bidang keilmuan.

Tidak lupa penulis berharap dari tulisan-tulisan ringan ini akan muncul cerita sejarah yang utuh (Total History). Cerita sejarah yang tidak hanya mengagung-agungkan pemenang, penguasa, atau bahkan pemegang pemerintahan belaka. Tetapi mampu mewadahi sejarah yang lebih humanis. Sejarah yang benar-benar menempatkan "Wong Cilik" sebagai aktor. Untuk nantinya memberi sumbangan bagi implementasi penulisan "Historiografi Pembebasan".

Salam



Joseph Army Sadhyoko, S.Hum., M.Hum.

(josepharmy16@gmail.com)

Wednesday, January 20, 2016

Memetri Bumi Anjejagi Gesang

    Menyelaraskan dua kepentingan yang berbeda tentu tidak mudah. Menambang dan mengelola lingkungan hidup adalah dua hal yang saling bertolak belakang. Menambang secara umum diartikan sebagai kegiatan eksplorasi dan eksploitasi isi bumi yang mengandung mineral alam yang bisa habis dalam jangka waktu tertentu, tetapi memiliki nilai ekonomi tinggi. Sementara mengelola lingkungan hidup adalah kegiatan yang mengolah alam yang memiliki daya terbarukan dan daya manfaat bagi seluruh makhluk hidup, namun jarang yang bernilai ekonomi.
    Untuk menyelaraskan dua hal di atas, maka perlu ditanamkan dan ditiru sebuah falsafah Jawa, yaitu memetri bumi, anjejagi gesang. Arti falsafah ini adalah menjaga bumi, memelihara kehidupan. Oleh sebab itu, mengambil segala isi perut bumi melalui pertambangan harus diikuti oleh semangat menjaga lingkungan hidup, agar tidak hancur. Di samping itu, semua orang yang terlibat di sekitar aktivitas pertambangan harus sadar untuk ikut serta memelihara kehidupan dengan pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan secara nyata, seperti penghijauan dan reboisasi. Sementara itu, pada lingkup masyarakat di sekitar tambang harus ada pemberdayaan sosial untuk peningkatan kesejahteraan hidup, seperti pelatihan kewirausahaan dan budidaya tanaman.